Kita semua pasti pernah membuat keputusan besar dalam hidup—beberapa di antaranya kita anggap sebagai langkah terbaik yang bisa diambil saat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, tak jarang kita merasa seolah-olah keputusan tersebut malah membawa penyesalan. Apakah itu memilih jurusan kuliah yang ternyata tidak sesuai dengan passion, atau bahkan keputusan untuk menikah muda yang semula tampak ideal. Kenapa bisa begitu? Kenapa keputusan yang kita buat dengan penuh keyakinan pada satu titik dalam hidup, malah membuat kita bertanya-tanya apakah kita telah membuat pilihan yang salah di masa lalu? Artikel ini akan menggali mengapa kita sering merasa menyesal di masa depan, meski keputusan tersebut tampak benar di waktu yang lalu, dan bagaimana kita bisa memahami proses perubahan dalam diri kita yang akhirnya membawa penyesalan itu.
Ada teman saya yang dulu memutuskan untuk menikah muda, sekitar umur 24 tahun. Saat itu, dia merasa jika menikah di usia muda, dia akan masih berada dalam usia produktif saat anak-anaknya nanti sudah mulai kuliah. Dia yakin bisa terus bekerja untuk membiayai keluarga. Selain itu, setelah pacaran lebih dari 5 tahun, dia merasa sudah cukup mengenal pasangannya dan yakin bahwa wanita ini adalah pilihan hidup yang tepat.
Namun, seiring berjalannya waktu, saat kami berkumpul, saya bisa melihat ada rasa penyesalan di matanya. Meskipun dia tidak pernah mengatakannya secara langsung, kadang-kadang dia merasa iri dengan teman-teman yang masih bisa bebas bepergian, tanpa harus khawatir tentang anak atau meminta izin dari istri. Kami semua menyadari bahwa ada sedikit keraguan yang dia simpan dalam dirinya. Kami memilih untuk tidak membahasnya lebih jauh dan berusaha mengalihkan perhatian.
Walaupun begitu, dia tetap menjalani peran sebagai ayah dan suami dengan sangat baik, meskipun ada saat-saat di mana dia meragukan pilihannya.
Penelitian dari seorang psikolog Harvard, Daniel Gilbert, memberikan wawasan yang menarik mengenai bagaimana kita memandang perubahan dalam hidup. Dalam sebuah studi besar yang melibatkan lebih dari 19.000 orang dari berbagai usia, Gilbert mengajukan dua pertanyaan kunci yang menarik perhatian:
-
"Seberapa banyak Anda merasa berubah dalam 10 tahun terakhir?"
-
"Menurut Anda, bagaimana Anda akan berubah dalam 10 tahun ke depan?"
Kebanyakan orang merasa bahwa mereka telah mengalami banyak perubahan dalam 10 tahun terakhir. Namun, yang menarik adalah, saat diminta untuk memprediksi perubahan yang akan terjadi pada diri mereka dalam 10 tahun ke depan, mayoritas mereka merasa bahwa tidak akan banyak perubahan yang terjadi.
Misalnya, seseorang yang berusia 25 tahun mungkin mengakui bahwa dirinya sangat berbeda dibandingkan dengan versi dirinya saat berusia 15. Namun, saat diminta memprediksi bagaimana dirinya akan berubah saat berusia 35, sebagian besar orang menjawab, "Mungkin tidak banyak berubah."
Fenomena ini dikenal dengan istilah End of History Illusion—ilusi bahwa kita sudah selesai berubah. Padahal, jika kita melihat bagaimana kita terus berubah dari masa lalu ke masa kini, kemungkinan besar kita akan terus berkembang dan berubah di masa depan.
Gilbert menjelaskan bahwa ini adalah bias kognitif. Pikiran kita cenderung melihat diri kita saat ini sebagai "versi final" dan lebih sulit membayangkan diri kita yang terus berkembang ke depan. Hal ini mengarah pada kesalahan dalam memperkirakan masa depan, yang sering kali berujung pada penyesalan di kemudian hari.
Sebagai contoh, Budi memutuskan untuk membuka usaha dengan penuh harapan. Dalam benaknya, usaha tersebut akan sukses besar dan mengubah hidupnya. Namun, setelah beberapa waktu, kenyataan berkata lain. Meskipun usahanya bertahan, hasil yang didapatkan jauh dari yang dia bayangkan.
Ini adalah contoh nyata dari Optimism Bias—kecenderungan kita untuk memandang masa depan dengan terlalu positif, bahkan ketika kenyataan sering kali tidak sesuai harapan. Optimism Bias membuat kita lebih fokus pada kemungkinan sukses dan mengabaikan potensi masalah atau risiko yang mungkin muncul.
Budi membayangkan usahanya akan berjalan lancar, dengan pelanggan yang datang terus-menerus dan keuntungan yang melimpah. Namun, dia tidak membayangkan stres akibat persaingan yang ketat, masalah dengan karyawan, atau bahkan pelanggan yang tidak membayar tagihan.
Namun, meskipun terkadang membawa kerugian, Optimism Bias juga memiliki manfaat. Tanpa rasa optimis yang mendorong kita maju, kita mungkin tidak akan pernah berani mengambil langkah besar dalam hidup. Jika Budi terlalu pesimis, dia mungkin tidak akan pernah memulai usaha tersebut. Optimism Bias memberi kita dorongan untuk mencoba, meskipun terkadang hal tersebut bisa berakhir dengan kegagalan.
Namun, seperti halnya dalam banyak hal lainnya, ada sisi negatif dari berlebihan. Jika kita terlalu pesimis, kita jadi ragu untuk mencoba sesuatu yang baru. Sebaliknya, jika kita terlalu optimis, kita bisa menjadi naif dan melupakan risiko yang sebenarnya ada.
Sekarang, mari kita kembali ke pertanyaan utama: mengapa kita sering menyesal di kemudian hari?
Salah satu alasannya adalah End of History Illusion. Kita cenderung berpikir bahwa kita sudah mencapai versi final dari diri kita. Kita merasa bahwa siapa kita saat ini adalah siapa kita selamanya. Padahal, kita selalu berubah dan berkembang, dan keputusan yang kita ambil hari ini mungkin tidak akan cocok dengan siapa kita beberapa tahun ke depan.
Teman saya yang menikah muda membuat keputusan berdasarkan pemikiran dan keyakinannya saat itu. Namun, dia tidak bisa memprediksi bagaimana perasaannya akan berubah seiring berjalannya waktu.
Alasan lainnya adalah Optimism Bias, yang membuat kita terlalu fokus pada gambaran indah masa depan dan mengabaikan potensi masalah. Kita sering membayangkan segala sesuatunya akan berjalan sesuai rencana, padahal kenyataannya ada banyak hal yang bisa mengubah arah hidup kita.
Penyesalan sering datang karena kita terlalu fokus pada gambaran positif tanpa mempertimbangkan kemungkinan buruk, yang kemudian membuat kita merasa kecewa atau bahkan menyesal setelahnya.
Namun, ada sebuah penelitian menarik yang dilakukan oleh psikolog Thomas Gilovich mengenai penyesalan dalam hidup. Gilovich ingin mengetahui jenis penyesalan apa yang lebih membekas dalam hidup seseorang: penyesalan karena melakukan sesuatu (regret of action) atau karena tidak melakukan sesuatu (regret of inaction).
Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 75% orang lebih menyesal karena hal-hal yang tidak mereka lakukan, seperti tidak mengambil kesempatan yang ada, tidak berani mengungkapkan perasaan, atau tidak melakukan sesuatu yang mereka anggap penting. Hanya sekitar 25% yang menyesal karena keputusan yang mereka ambil, seperti memilih jurusan yang salah, menikah dengan orang yang tidak tepat, atau memilih pekerjaan yang kurang sesuai.
Kenapa ini terjadi? Karena tindakan yang sudah kita ambil, meskipun salah, seringkali bisa kita jelaskan atau maafkan. Sebaliknya, hal-hal yang tidak kita lakukan meninggalkan perasaan "bagaimana jika?" yang terus menghantui kita.
Jadi, meskipun penyesalan tidak bisa dihindari dalam hidup, kita bisa sedikit lebih bijak dalam menghadapinya. Penyesalan karena tidak melakukan sesuatu sering kali lebih menyakitkan daripada penyesalan karena sudah melakukannya.
Pada akhirnya, hidup memang penuh dengan pilihan. Kita harus siap menerima konsekuensinya, baik itu penyesalan atau keberhasilan. Jadi, pilihlah dengan bijak, dan ingat: tidak ada pilihan yang sempurna. Pick your poison.
https://www.scribbr.com/research-bias/optimism-bias/
https://theknowledge.io/end-of-history/
No comments
Post a Comment
Punya saran, kritik, atau pertanyaan seputar topik pembahasan. hyu isi koment dibawah.